Perkembangan Teori Kurikulum

Minggu, 25 Oktober 2009

Teori adalah alat suatu disiplin ilmu yang berfungsi menentukan orientasi ilmu, memberikan kerangka konseptual tentang cara mensistematisasi, merangkum fakta-fakta dan menunjukkan kekurangan dalam pengetahuan kita tentang ilmu tersebut.

Menurut sebagian ahli[1], teori-teori ilmu pengetahuan terbagi kepada ilmu-ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Dalam kaitannya dengan teori kurikulum, maka teori kurikulum merupakan sub teori ilmu pengetahuan sosial dan khususnya sub teori ilmu pendidikan.[2]

Teori kurikulum adalah sebagai suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum.[3]

Teori kurikulum merupakan syarat mutlak untuk mengembangkan kurikulum sebagai disiplin ilmu. Teori kurikulum berfungsi sebagai kegiatan intelektual untuk memahami hakikat pengalaman dalam pendidikan dan pengajaran secara internal dan eksistensial. Fungsi pertama ini bersifat filosofis. Sedangkan fungsi kedua untuk melihat hubungan erat antara teori dan praktek. Fungsi ini banyak dianut oleh ahli kurikulum untuk mencari pendekatan rasioanl tentang cara-cara atau metode-metode untuk mencapai tujuan pendidikan.

Pada umumnya para ahli berpendapat belum adanya teori kurikulum yang mantap. Ada berbagai alasan dan kesulitan sehingga teori kurikulum seperti yang diharapkan belum berhasil dibentuk.[4]

Alasan tersebut antara lain dikemukakan oleh James B. MacDonald, Colin Mars dan Ken Stafford. Dalam buku Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Abdullah Idi menyimpulkan bahwa:

Terdapat bermacam-macam alasan sebagai penyebab kesulitan-kesulitan dalam membuat teori kurikulum. Pertama, belum terdapat defenisi kurikulum yang diterima secara umum. Defenisi tersebut mencakup dari hal yang sempit (berupa mata pelajaran) sampai yang luas, yakni meliputi semua kehidupan. Kedua, belum bisa ditentukan dengan jelas mengenai batas-batas materi yang menjadi wilayah penelitiannya.[5]

Meskipun demikian dalam dataran sejarah banyak ahli yang menyumbangkan buah pikirannya agar terbentuk teori kurikulum. Untuk memahami perkembangan teori kurikulum tersebut tidak terlepas dari sejarah perkembangan teori kurikulum. Perkembangan teori kurikulum pada hakekatnya telah dimulai tahun 1890 dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya John Franklin Bobbit.

Berkenaan dengan uraian di atas, makalah ini akan memaparkan lebih jelas ”Perkembangan Teori Kurikulum”, yang meliputi pembahasan sejarah perkembangan teori kurikulum, sumber kurikulum, desain dan rekayasa kurikulum.

B. Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan Teori Kurikulum

Herbert M. Kliebard adalah seorang tokoh yang menganjurkan penelitian secara historis tentang pengembangan kurikulum. Ia mengemukakan bahwa dalam perkembangan ide-ide filosofis para ahli falsafah senantiasa merekonstruksi dan mengeritik pekerjaannya pada masa lampau sehingga senantiasa bertambah mantap. Tak demikian halnya dengan pengembangan ide-ide tentang kurikulum.

Tidak adanya perkembangan teori kurikulum secara historis sistematis dapat dipahami karena dorongan untuk memperbaiki pendidikan yang disebut orientasi amelioratif. Perbaikan itu diharapkan dicapai dalam jangka pendek sehingga tidak memerlukan penelitian jangka panjang.

Kliebard mengadakan studi historis tentang teori kurikulum yang teknologis yang memungkinkan teknik manajemen industri yang birokratis dan ilmiah.

Ia mulai dengan pernyataan Ellwood Cubberley 1916, bahwa sekolah ditinjau dari segi tertentu seperti pabrik yang mengolah bahan mentah (anak-anak) menjadi produk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian lembaga pendidikan merupakan alat birokrasi yang besar yang harus diolah secara efisien dan ilmiah. Efisiensi dipelajari dari Frederick W. Taylor. Agar hasil atau produk mencapai standar yang ditentukan maka setiap langkah produksi harus dianalisis dan dipecah dalam fragmen-fragmen kecil. Fragmen kecil mudah diperbaiki sehingga memenuhi standar. Penilik sekolah menjadi ”business manager” dan guru bertukar fungsinya dari pengajar dan pendidik menjadi manager” dan ”director of learning”.

Gerakan efisiensi ini tidak mempengaruhi hanya soal administrasi kurikulum akan tetapi juga teori kurikulum sendiri. Tokohnya ialah John Franklin Bobbitt yang mengarang buku ” The Curriculum” (1918) dan ”How to Make a Curriculum” (1924) serta sejumlah karangan yang antara lain berjudul “The Elimination of Waste in Education” (1912), “The Objectives of Secondary Education” (1920), “The Orientation of Curriculum-Making” (1926), “A Summary Theory of the Curriculum” (1934).[6]

John Franklin Bobbitt sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama. Ia perintis pengembangan praktis kurikulum, yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum, dan menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum.

John Franklin Bobbitt menyatakan bahwa inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Meskipun kehidupan manusia berbeda-beda namun pada dasarnya sama terbentuk oleh sejumlah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehiduapan sangat bermacam-macam, tergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada sederetan pengalaman yang harus dikuasai anak. Seluruh tujuan dan pengalaman-pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian teori kurikulum.

Pada hakekatnya Bobbitt mengadaptasi teknik perusahaan untuk sekolah dengan menggunakan scientific management, efisiensi maksimal, spesialisasi kerja, pencegahan penghamburan waktu. Anak menjadi objek dan bahan mentah atau input bagi mekanisme pendidikan untuk menghasilkan produk atau output menurut spesifikasi sesuai analisis kebutuhan manusia dalam masyarakat. Hasil analisis itulah menjadi tujuan pendidikan. Ia juga menerapkan prinsip penghitungan biaya sehingga dapat diperkirakan berapa pengeluaran untuk tiap mata pelajaran dalam jangka waktu tertentu.[7]

Tujuan pendidikan harus diuraikan menjadi tujuan-tujuan khusus yang spesifik, karena standarisasi produk dicapai dengan spesifikasi kegiatan belajar yang memiliki tujuan-tujuan khusus. Demikian tujuan pendidikan dapat ditemukan secara tepat dan cermat. Tujuan itu dapat distandarisasikan dan dapat ditentukan lebih dulu. Dengan tujuan yang jelas dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dapatlah dihindarkan penghamburan waktu dan tenaga.

Pendapat Bobbitt disetujui oleh Werrett W. Charlters dan David Snedden dalam bidang pendidikan vokasional. Mereka melakukan analisis berbagai jabatan menjadi tujuan-tujuan spesifik yang harus dicapai dalam pendidikan. Gerakan ini terkenal dengan nama gerakan efisiensi sosial atau ”social efficiency movement”.[8]

Berdasarkan analisis terhadap kecakapan/ pekerjaan tersebut mereka melakukan penyusunan dan pengembangan kurikulum.

Ada dua hal yang sama dari teori krikulum, antara teori Bobbitt dan Charterls, yakni:

a. Keduanya menggunakan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah kurikulum. Hal ini dipengaruhi oleh gerakan ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain.

b. Keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai orang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Karena itu mereka menyusun kurikulum secara lengkap dan sistematis.

Pada tahun 1920, teori kurikulum (teori Bobbitt dan Charterls) yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan orang dewasa berubah kepada kehidupan psikologis anak. Perubahan ini dipengaruhi gerakan pendidikan aliran progressif. Aliran progresif menekankan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered) atau anak menjadi pusat perhatian. Karena itu, isi kurikulum harus didasarkan pada minat dan kebutuhan peserta didik, melibatkan aktivitas peserta didik melalui pengalaman-pengalaman belajar.

Perkembangan teori kurikulum dari Bobbitt dan Charterls, semakin mengalami kemunduran pada era 1930 an. Karena banyak yang tidak menerima pandangan bahwa anak menjadi bahan untuk dibentuk atau ditempa tanpa memperhatikan berbagai aspek potensialitas individualnya. Masyarakat tidak setuju akan standarisasi, fragmentasi dan predeterminasi kurikulum. Pendidikan mekanistis itu merupakan dehumanisasi, mematikan kegiatan dan kreativitas intelektual, otonomi manusia, kepuasan belajar. Manusia yang dihasilkan melalui proses ”conditioning” dengan reaksi stimulus-respon tidak akan menjadi manusia yang mampu mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri. Konsep pendidikan yang mekanistis, yang menggunakan pendekatan sistem analisis teknologis, yang memanipulasi atau mengolah anak sebagai input menjadi output (produk) yang lebih dahulu ditentukan melalui ”programming” tiada lain men-dehumanisasi pendidikan dan melenyapkan otonomi manusia. Tujuan pendidikan yang dipecahkan menjadi tujuan–tujuan khusus dan spesifik menjadikan tujuan pendidikan itu kerdil. Walaupun banyak kritik dilontarkan, namun pendidikan mekanistis ini timbul kembali dengan dukungan dari aliran behaviorisme dan sistem analisis di bawah naungan teknologi pendidikan. [9]

Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis Caswell. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum di beberapa negara bagian Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Florida, Virginia), ia mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaaan (society centered) kepada bentuk yang lebih bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulum tersebut, ia menekankan pentingnya partisipasi guru-guru dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur organisasi dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian kurikulum, merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, desain kurikulum, menilai hasil dan sebagainya.[10]

Pada tahun 1947 di Universitas Chicago berlangsung diskusi besar pertama tentang teori kurikulum. Hasil diskusi tersebut dirumuskan 3 (tiga) tugas utama teori kurikulum:

a. Mengindentifikasi masalah-masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum dan konsep-konsep yang mendasarinya

b. Menentukan hubungan antara masalah-masalah tersebut dengan struktur yang mendukungnya

c. Mencari atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan datang untuk memecahkan masalah tersebut.[11]

Ralph W. Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum:

a. Tujuan pendidikan yang mana yang ingin dicapai oleh sekolah?

b. Pengalaman pendidikan yang bagaimana yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?

c. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif?

d. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?[12]

Empat pertanyaan pokok tentang kurikulum dari Tylor ini banyak dipakai oleh para pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konfrensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas pengembangan teori kurikulum. Menurut Beauchamp, kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitian-penelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-kaidah sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum.

Dalam makalah kedua Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap kurikulum, yaitu:

a. Merumuskan dan mempertimbangkan tujuan pendidikan

b. Memilih dan menyusun bahan

c. Perumusan bahasa khusus kurikulum[13]

Pada tahun 1964 James B. MacDonald mengemukakan cara untuk melihat atau mengkaji teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem dalam persekolahan, yaitu kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar. Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep kurikulum. Penggunaan model sistem juga dapat membantu para ahli teori kurikulum menentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.

Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rakayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori.[14]

Selanjutnya pada tahun 1966, Thomas L. Faix menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum, dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut:

a. Pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum

b. Sistem kurikulum

c. Unit analisis dan unsur-unsur kurikulum

d. Struktur sistem kurikulum

e. Fungsi sistem kurikulum

f. Proses kurikulum

g. Prosedur analisis struktural-fungsional kurikulum[15]

Elizabeth Steiner Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori kurikulum, yaitu:

a. Teori kurikulum, yang menguraikan pemilihan dan pemisahan kejadian/ peristiwa kurikulum atau yang berhubungan dengan kurikulum dan yang bukan.

b. Teori kurikulum formal, yang memusatkan perhatiannya pada struktur isi kurikulum.

c. Teori kurikulum valuasional, yang mengkaji masalah-masalah pengajaran apa yang berguna/ berharga bagi keadaan sekarang.

d. Teori kurikulum praksional, merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai tujuan-tujuan kurikulum.[16]

Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan hasil dari sistem pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan kurikulum bukan kurikulum. Menurut Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar yang terstruktur. Jadi, kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan. Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut pengalaman anak menjadi bagian dari pengajaran.

Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum yaitu aktor, artifak dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi langkah: perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.[17]

Deskripsi sejarah perkembangan teori kurikulum di atas disimpulkan bahwa ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum, yaitu defenisi kurikulum, sumber-sumber kebijakan kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum. Misalnya tentang rumusan teori kurikulum diawali dengan defenisi. Defenisi di sini bukan sekedar defenisi istilah, melainkan defenisi konsep, isi dan ruang lingkup, serta struktur.

2. Sumber Kurikulum

a. Hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa

Hal ini berdasarkan kajian teori kurikulum awal yang telah dikemukakan oleh Bobbitt. Kurikulum disusun berdasarkan sumber keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa.

b. Unsur kebudayaan

Unsur kebudayaan yang dimaksudkan adalah meliputi semua disiplin ilmu, nilai adat istiadat, perilaku, benda, dan lain-lain.

c. Anak/ Peserta Didik

Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu kebutuhan peserta didik, perkembangan peserta didik dan minatnya.

Kebutuhan anak didik sebagai dasar penetapan atau sumber kurikulum dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sisi psikobiologis dan sisi sosial. Sisi psikobiologis berkenaan dengan apa yang timbul dari sisi anak berdasarkan kebutuhan psikologis dan biologis yang dinyatakan dalam keinginan dan harapan yang diminati untuk dipelajari. Sisi kebutuhan sosial berkenaan dengan tuntutan masyarakat, apa yang dianggap perlu untuk kehidupannya dan bermanfaat di masyarakat.

d. Nilai-nilai

Yaitu pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum berikutnya.

e. Kekuasaan sosial politik

Misalnya di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial politik yang menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang mewakili negara bagian. Di Indonesia, sebagai pemegang kekuasaan sosial politik untuk menentukan kurikulum adalah Menteri Pendidikan Nasional yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah serta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bekerjasama dengan Balitbangdiknas. Untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya ada pada pemerintahan pusat, sedangkan pada perguruan tinggi, Rektor diberi wewenang untuk menentukan kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.[18]

Wina Sanjaya mengemukakan bahwa ada tiga yang menjadi sumber kurikulum, yakni masyarakat beserta budayanya, siswa dan ilmu pengetahuan.[19]

Pada dasarnya tidak ada kontra antara kedua pendapat di atas. Karena hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa, nilai-nilai dan kekuasaan sosial politik adalah bagian dari unsur yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat dan budayanya. Demikian juga halnya dengan siswa atau peserta didik dan ilmu pengetahuan.

3. Desain dan Rekayasa Kurikulum

Desain dan rekayasa kurikulum merupakan dua sub teori dari teori kurikulum.

Desain kurikulum adalah suatu pengorganisasian tujuan, isi serta proses belajar yang akan diikuti peserta didik pada berbagai tahap perkembangan pendidikan.[20]

Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur kurikulum, hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya, prinsip-prinsip pengorganisasian serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Ada dua dimensi penting dalam desain kurikulum, yakni:

a. Substansi, unsur-unsur serta organisasi dari dokumen tertulis kurikulum

b. Model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum terutama organisasi dan proses pengajaran

Menurut Beauchamp, kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu:

a. Kurikulum merupakan dokumen tertulis

b. Berisi garis-garis besar rumusan tujuan yang akan menjadi acuan dalam mendesain kurikulum

c. Isi atau materi ajar. Dengan materi tersebut tujuan-tujuan kurikulum dapat dicapai

Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum.

a. Ketentuan-ketentuan tentang bagaimana penggunaan kurikulum serta bagaimana mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan berdasarkan masukan dari pengalaman.

b. Kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun sistem pelaksanaannya.[21]

Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lungkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah kemudian menuju pada yang lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan lanjutan.

Secara umum ada tiga pola desain kurikulum.

a. Subject centered design, yaitu desain kurikulum yang dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan

b. Leaner centered design, yaitu desain kurikulum yang mengutamakan peranan peserta didik

c. Problems centered design, yaitu desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.[22]

Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsikan kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikulum agar kurikulum dapat berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum di sekolah terdiri atas para pengawas/ penilik dan kepala sekolah, sedangkan pada tingkat pusat adalah kepala Pusat Pengembangan Kurikulum Balitbangdiknas dan para Kasubdit/ Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat. Dengan pelimpahan wewenang dari Menteri atau Direktur Jenderal, para pejabat pusat tersebut merancang, mengembangkan dan mengadakan penyempurnaan kurikulum. Juga mereka memberi tugas dan tanggung jawab menyusun dan mengembangkan berbagai bentuk pedoman dan petunjuk pelaksanaan kurikulum. Para pengelola di daerah dan sekolah berperan melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kurikulum.

Seluruh sistem rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal, yaitu:

a. Arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa kurikulum

b. Keterlibatan orang-orang dalam proses kurikulum

c. Tugas-tugas dan prosedur perencanaan kurikulum

d. Tugas-tugas dan prosedur implementasi kurikulum

e. Tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum

Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori kurikulum, Beauchamp mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori kurikulum, yaitu:

a. Setiap teori kurikulum harus memulai dengan perumusan (defenisi) tentang rangkaian kejadian yang dicakupnya

b. Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai-nilai dan sumber-sumber pangkal tolaknya

c. Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik dari desain kurikulumnya

d. Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan kurikulumnya serta interaksi di antara proses tersebut

e. Setiap teori kurikulum hendaknya menyiapkan diri bagi proses penyempurnaannya[23]

C. Penutup

Pada umumnya para ahli berpendapat belum adanya teori kurikulum yang mantap, karena faktor perumusan defenisi kurikulum dan batasan objek penelitiannya. Meskipun demikian banyak ahli yang telah menyumbangkan buah pikirannya agar terbentuknya teori kurikulum. Misalnya John Franklin Bobbit, Werrett W. Charlters dan David Snedden dalam bidang pendidikan vokasional dan teori kurikulum yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan orang dewasa, Hollis Caswell mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaaan (society centered) yang lebih bersifat interaktif.

Selain itu James B. MacDonald mengemukakan cara untuk melihat atau mengkaji teori kurikulum dari model sistem, Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai dengan 1965 dan mengemukakan ada enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rakayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori.

Sejarah perkembangan teori kurikulum pada hakekatnya telah dimulai pada akhir abad ke-19 (1890) dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya John Franklin Bobbit tahun 1918. Selanjutnya dibahas dan dikembangkan oleh para ahli lain. Ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum, yaitu defenisi kurikulum, sumber-sumber kebijakan kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum.

Sumber kurikulum antara lain berasal dari hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa, unsur kebudayaan, anak/ peserta didik, nilai-nilai, dan kekuasaan sosial politik.

Desain dan rekayasa kurikulum merupakan dua sub teori dari teori kurikulum. Desain kurikulum adalah suatu pengorganisasian tujuan, isi serta proses belajar yang akan diikuti peserta didik pada berbagai tahap perkembangan pendidikan.

Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsikan kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikulum agar kurikulum dapat berfungsi sebaik-baiknya.



[1] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, cet 8 (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 55-56­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ dan I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat,cet. 9 (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), h. 40.

[2] Lihat Bagan Pada Lampiran

[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, cet. 7 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 27.

[4] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum ((Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), h. 172.

[5] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 76.

[6] Nasution, Pengembangan, h. 183-185.

[7] Ibid., h. 185.

[8] Ibid., h. 186.

[9] Ibid., h. 186.

[10] Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, h. 29.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ibid., h. 30.

[14] Ibid.,h. 71.

[15] Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, h. 30.

[16] Ibid., h. 31.

[17] Ibid., h. 32.

[18] Ibid., h. 34.

[19] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana, 2009), h. 114.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Ibid., h. 113.

[23] Beauchamp, Curriculum, h. 82.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Tugas Akhir Skripsi