Perjanjian

Rabu, 21 Oktober 2009

A. Pengertian Dan Jenis Jenis Perjanjian

Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu peruatan hukum dimana seorarng ata lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.
Menurut R wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedankan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
Selanjutnya menurut pendapat A,Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa simana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”
Dalam kitab undang undang hukum Perdata terjenahan R subekhi dan R Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipaki adalah perikatan sebagaimana disebut dalam pasal 1233 KUH Perdata
Jadi kedua istilah tersrbut sama artinya . tetapi menurut pendapat R.Wirjno Prodjodikoro bahwa:
Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda . persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak ,sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak ,dalam mana satu pihak berjanji atau di anggap berjanji ntuk melakukan sesuatu. Hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu
Dari kedua definisi yang di kemukakan aleh R. subekti dan R. Wirjono prodjodikoro diatas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang tidak prinsipil Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertianya saja . yang pasti dari perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau keduapihak tersebut.
”Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu, di dalam menampakkan atau mewujudkan bentuknya ,perjanjian dapat berupa suatu dangkain perkataan yang mengandung janji janji atau kesangupan yang di ucapkan tu di tuliskan
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjamjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjiawn itu. Jadi perjajian adalah merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber sumber perikatan lainya, perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.
Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui bahwa perikatan di bagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .
Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang ,timbul dari undang undang sebaai akibat perbuatan orang .
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang bedasarkan perbuatan seseorang manusia
Menurut pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan seseorang yang tidak melanggar hukum . mislnya sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359KUH . Perdata yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dlam pasal 1359 KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang berdasarkan perbuatan seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata

Pada umumya tidk seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta di tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .
Menurut mariam darus badrulzaman bahwa yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya
3. Pihak ketiga

B. Syarat Sahnya Perjanjian
KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.
Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut adalah :
1. Sepakat meeka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau seria sekata mereka mengenai hal hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu. Apa yang di kehendaki oleh pihak yang satu jugadikehendaki pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya seorang penjualsuatu benda untuk mendapatkan uang, sedangkan si pembeli mengiginkan benda itu dari yang menjualnya .
Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus di nyatakan
ad.2. kecakapan untuk membuat perjanjian .
Kecakapan disini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21tahun tetapi teklah pernah kawin . sedangkan UU No 1 tahun 1974 pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun . tidak termasuk otang otang yang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh pengadilan diputuskan berada dibawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami .
Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan surat edaran mahkamah agung No . 3 Tahun 1963 , maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah di perbolehkan menghadap di muka pengadilan tampa seizin suami .
ad.3. suatu hal tertentu
Suatu hal tertenru makudnya adalah sekurang kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah di tentukan , misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah di mungkinkan asal disebut macam atau jenis dan rupanya , sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis , warna dan rupanya dapat dibatalkan .

4. suatu sebab yang halal
Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri . sebab yang tidak halal adalh yang berlawanan dengan undang undang kesusilsaan dan ketertiban umum
Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama, yaitu sepakat mereka yang mengingatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek pejanjian .
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek subjek prjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dengan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
Apabila syarat subjek tidak dipenuhi, maka perjanjianya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjiaan itu dibatalkan .
Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak di penuhi

C. Akibat Hukum Wanprestasi
Menurut pendapat M.yahya harapan dalam bukunya segi segi hukum perjanjian , yang dimaksud dengan perjanjian adalah : “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktumya atau dilakukan tidak menurut selayaknya .”
Kata “tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak “ apabila dengan dihubungkanya dengan kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum, pihak debitur sebagian atau atau secara keseluruhanya tidak menempati ataupun berbuat sesuat yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama .
Dalam keadaan normal perjanjian dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya tampa gangguan ataupun halangan . tetapi pada waktu tertentu, yang tidak dapat diguga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebabnya terjadinya wanprestasi oleh AbdulKadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :
a. Faktor dari luar dan
b. Faktor dari dalam diri para pihak
Faktor dari luar menurut Abdulkarir Muhammad adalah “peristiwa yang diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi terjadi ketika perjanjian dibuat”
Sedangkan faktor dari dalam manusia /para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau kelainan pihak itu sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatanya tersebut.
Hal kelainan atau wanprestasi pada pihak dalamperjanjian ini harus dinyatakan terlebih secara resmi yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai . bahwa pihak kridetur menghendaki pemenuhan prestasi oleh pihak debitur. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.
Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyatan lalai oleh J. Satrio, memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk pernyataan lalai tersebut dalam bentuk pernyataan lalai yaitu:
1. Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi da.lam jangka waktu yang panjang. Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian,tanpa tegoran kelalaian dengan sendirinya pihak debitur sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimana mestinya.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan (aanmaning) dam bisasa juga disebut dengan Sommasi. Dalam sommasi inilah pihak kreditur menya.takan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada pihak debitur.
Jadi dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditur kepada pihak debitur, maka menyebabkan pihak debitur dalam keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut. Pernyatan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah sangat besar baik bagi kepentingan pihak kreditur maupun pihak debitur. Dalam perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila pihak debitur tidak menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam kategori yaitu :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.
Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat mengajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa
2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Yang dimaksud pihak kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur mengembalikan barang yang diperjanjikan, pihak kreditur telah mengetahui bahwa waktu pengernbalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka terhadap debitur yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak kreditur telah melepaskan haknya untuk pihak debitur yang te'ah nyata wanprestasi.
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dimyatakan bahwa : "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Dari Pasal 1338 KUH Perdata di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa, pada prinsipnya suatu perjanjian tidak dapat dibatalkan oleh sepihak, karena dengan adanya pembatalan tersebut, tentunya akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya..
Pembatalan perjanjian hanya dapat dila.kukan apabila diketahui adanya kekhilafan ataupun paksaan dari salah satu pihak ketika membuat perjanjian. kekhilafan dan paksaan merupakan alasan yang dapat membatalkan perjanjian. Selain itu juga penipuan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya dalam membuat perjanjian, dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak. Karena menurut Pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian yang tidak didasarkan kepada syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektifnya dapat dilakukan dengan cara :
1. Melakukan penuntutan secara aktif di muka Hakim atau Pengadilan
2. Dengan cara pembatalan yaitu menunggu pihak yang mengajukan pembatalan di muka Hakim. Sehingga dengan ada gugatan yang diajukan oleh pihak lawan karena ia tidak memenuhi prestasi perjanjian, maka ia dapat mengajukan pembelaan bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subjektif yang memungkinkan untuk dibatalkannya perjanjian tersebut.
Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana yang disebutkan oleh undang¬ undang, maka undang-undang mengatur pembatasan waktu penuntutan yaitu 5 tahun di dalam perjanjian yang diadakan. Sebaliknya terhadap pembatalan perjanjian sebagai pembelaan tidak ditetapkan batas waktunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1454 KUH Perdata.
Penuntutan pembatalan akan diterima baik oleh hakim jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Akan tetapi apabila suatu pembatalan terhadap perjanjian yang dilakukan secara sepihak tanpa disertai alasan yang sah menurut hukum, maka pihak yang oleh pihak lain dibatalkannya perjanjiannya dapat menuntut kerugian kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, karena dengan adanya pembatalan yang dilakukan sepihak oleh salah satu pnhak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Dalam hukum perjanjian pada dasarnya suatu syarat pembatalan perjanjian selamanya berlaku surat hingga lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terjadi, akan menimbulkan akibat yaitu penghentian perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali seperti keadaan semula, seolah¬olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian di antara kedua belah pihak. Berarti dengan adanya pembatalan perjanjian akan menghapuskan segala kewajiban ataupun hak yang timbul dari perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya.
Terhadap perjanjian yang dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa disertai alasan yang sah, maka apabila perjanjian tersebut telah berlangsung lama, pihak yang dirugikan atas pembatalan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak. Ganti rugi yang diajukan oleh pihak yang dirugikan atas pembatalan yang sepihak tersebut adalah dapat berupa biaya, rugi, maupun bimga atas kerugian yang dideritanya.
Namun apabila dalam pembatalan yanJ dilakulcan secara sepihak terhadap perjanjian yang mereka perbuat, sedangkan segala isi maupun ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian tersebut belum dilaksanakan sama sekali oleh kedua belah pihak, maka dengan adanya pembatalan perjanjian tersebut oleh salah satu pihak secara sepihak tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Pembatalan perjanjian tersebut hanya membawa para pihak pada keadaan semula yaitu keadaan sebelumnya para pihak dianggap tidak pernah melakukan atau mengadakan perjanjian diantara mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak apabila tidak memenuhi syarat sah subjektif dari suatu perjanjian. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan dengan mengajukannya kepada pengadilan ataupun dengan pembelaan atau gugatan pihak yang akan mzmbatalkan perjanjian.
Sedangkan terhadap perjanjian yang dibatalkan secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diaiukan tuntutm kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian tersebut telah berl,angsuna, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi sebelum adanya pelaxsanaan perjanjian maka pembatalan itu hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.
Dalam perjanjian, pernyataan keadaan wanprestasi ini tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi harus terlebih dahulu diperlukan adanya suatu pernyataan lalai atau sommatie yaitu suatu pesan dari pihak pemberi pekerjaan boronganpada saat kapan selambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi. Dari pesan ini pula selanjutnya akan ditentukan dengan pasti saat mana, seseorang berada dalam keadaan wanpre stasi atau inglcar janji tersebut, sehingga pihak yang wanprestasi harus pula menanggung segala akibat yang telah merugikan pihak yang lainnya.
Sebagai akibat timbul-iya keruoian dari salah satu pihak tersebut, maka undang-undang memberikan sesuatu hak baginya untuk menuntut diantara beberapa hal yaitu :

1. Pemenuhan prestasi
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
3. Ganti rugi
4. Pembatalan perjanjian.
5. Pembatalan disertai ganti rugi.
Bentuk ganti rugi tersebut di atas pada pelaksanaannya dapat diperinci dalam tiga bentuk yaitu biaya, rugi dan bunga.
Menurut R. Setiawan disebutkan bahwa :
Menurut Pasal 1246 KUH. Perdata. gant rugi terdiri dari dua faktor yaitu :
1. Kerugian yang nyata-nyata diderita
2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh
Kedua faktor tersebut dicakup dalam pengertian, biaya, kerugian dan bunga. Biaya adalah pengeluaran-pengeluaran nyata, misalnya biaya Notaris, biaya perjalanan dan sete-isnya. Kerugian adalah berkurangnya kekayaan kreditur sebagai akibat dari pada ingkar janji dan bunga adalah keuntungan yang sehan.isnya diperoleh kreditur jika tidak terjadi ingkar janji.
Dalam perjanjian ditentukan bahwa dalam hal terlambatnya salah satu pihak untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dan dalam jadwal waktu yang telah ditentukan adalah merupakan salah satu bentuk dari w«nprestasi. Penentuan wanprestasi ini sendiri erat kaitannya dengan suatu pernyataan lalai yaitu suatu pesan dari salah satu pihak untuk memberitahukan pada saat kapan selambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.
Dengan demikian sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penentuan pernyataan wanprestasinya salah satu pihak adalah ketentuan batas pelaksanaan kewaj iban itu sendiri.
Keterlambatan melakukan kewajiban ini dapat juga terjadi dari beutuk wanprestasi lainnya, seperti halnya melaksanakan kewajiban yang tidak sesuui dengan apa yang telah diperjanjikan. Sementara bentuk wanprestasi ini juga harus dapat dibedakan terhadap lalainya pihak kedua untuk tidak melakukan kewajiban sama sekali, karena dalam hal demikian pihak kedua tidak dapat dianggap terlambat memenuhi pelaksanaan prestasi. Semeutara sanksi dalam hal pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban sama sekali yang selanjutnya dapat dikategorikan menolak untuk melak'sanakan kewajiban, maka sebagai sanksinya pihak pertama berhak atas uang jaminan yang diberikan oleh salah satu pihak.

D. Berakhirnya Perjanjian
Mengenai peraturan tentang berakhirnya perjanjian diatur di dalam Bab XII Buku III KUH. Perdata. Peraturan untuk itu adalah perlu bagi kedua belah pihak, baik untuk menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai dimana batas perjanjian tersebut.
Di dalam Pasal 1381 KUH. Perdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu :
1. Pembayaran
2. Penawaran tunai disertai dengan penitipan
3. Pembaharuan hutang
4. Perjumpaan hutang
5. Percampuran hutang
6. Pembebasan hutang
7. Musnahnya benda yang terhutang
8. Kebatalan/pembatalan
9. Berlakunya syarat batal
10. Kadaluarsa atau lewat waktu.
Yang dimaksud dengan pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan.
Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUH. erdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi yang penting adalah hutang itu harus dibayar.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hat ini si kreditur menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur menolak menerima pernbayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada Notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur l.mtuk melaksanakan pembayaran. Jika kreditur menolak, maka dipersilakan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga, rnaka hat ini dicatat dalam berita acara tersebut, hat ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.
Pembaharuan hutang (raovasi) adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengn perjanjian lain. Dalam hat para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru.
Dalam hal terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditur dan debitur saling mempunyai hutang dan piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan hutang untuk uatu jumlah yang sama. Hal ini rerjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika.
Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditur dan debitur pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan dehitur pada satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang sesuai dengan Pasal 1435 KUH. Perdata.
Pembebasan hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa la tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitur. Jika si debitur menerima pernyataan si kreditur maka berakhirlah perjanjian hutang piutang diantara mereka.
Dengan terjadinya musnah barang-barang yang menjadi hutang debitur, maka perjanjian juga dapat hapus. Dalam hal demikian debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah di luar kes,alahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga meskipun di tangan kreditur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula. Hal ini disebut dengan resiko.
Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau,batal demi hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjia.n itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula.
Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembati kepada keadaan semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi.
Daluarsa adalah suatu upaya untuk rnemperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KiJH. Perdata).
Jika dalam perjanjian tersebut telah dipenuhi salah s.atu unsur dari hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para piuak terbebas dari hak dan kewajiban masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © Tugas Akhir Skripsi